Pada suatu penyelengaraan upacara di istana mojopahit, sering dipentaskan suatu bentuk tarian istana yang dikenal dengan istilah “Juru I Angin” , yaitu seorang wanita yang menari sambil menyanyi dengan sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang “Buyut” yaitu seorang pria tua yang berfungsi sebagai panakawan penari juru i angin tersebut.
Bentuk tarian inilah yang mungkin
sebagai asal dari perkembangan kesenian gandrung. Hal ini dapat dibuktikan
bahwa penari gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu
melawak dengan bentuk – bentuk lawakan yang berhubungan dengan tarian gandrung
yang sedang dimainkan.
hal
tersebut sangatlah mungkin, sebagaimana diungkapkan oleh drs. Sri soeyatmi
Satari, bahwa pada jaman kehidupan kerajaan-kerajaan maka daerah – daerah yang
jauh dari pusat kerajaan perkembangan seni budayanya mengikuti garis besar pola seni budaya pusat.
Ciri unsur keistanaan yang terdapat
dalam bentuk kesenian gandrung dapat dibuktikan sampai sekarang antara lain
dalam hal busana ( perlatan pakaian), rias dan bentuk – bentuk nyanyiaanya yaitu bentuk teknis pembawaan lagu
– lagu atau vokalnya yang memberikan kesan bentuk seni vokal pada jaman
kehidupan kerajaan – kerajaan blambangan zaman dahulu.
Dalam suatu masa perkembangan
kesenian gandrung ini sampai tahun 1890 di daerah blambangan berkembang suatu
bentuk kesenian gandrung yang penarinya terdiri dari anak laki-laki yang
berumur antara 7-16 tahun S. Surawijaya menerangkan bahwa diantara mereka ada
yang sampai umur 14 tahun, dengan
berpakaian wanita.
Pementasan kesenian gandrung laki – laki pada masa itu
dilakukan dengan jalan keliling desa – desa kemudian penari tersebut
mendapatkan imbalan inatura berupa beras dan sebagainya. Sedangkan gamelan
pengiringnya terutama menggunakan kendang dan terbang. Hal itu mirip dengan
yang terdapat dia aceh, jawa tengah, madura dan bali dengan nama yang berbeda
beda untuk menyebutkan suatu jenis peralatan musik yang sama.
Penari
gandrung laki – laki yang paling mashur bernama Marsan, yang kalau penari
gandrung laki – laki yang lain hanya mampu bertahan sampai usia sekitar 16
tahun, tetapi marsan dapat bertahan sampai umur 40 tahun dan tetap sebagai
penari gandrung pria sampai pada akhir hidupnya.
Pementasan
gandrung pria itu biasanya dilakukan pada waktu malam hari, terutama pada bulan
purnama di halaman terbuka. Pemilihan partner menarinya, diatur dengan
melemparkan ujung sampur kepada para penonton yang mengelilinginya dengan
urutan dari barat, kemudian timur, selatan dan kemudian bagian penonton yang
sebelah utara. Kesenian gandrung pria
ini pernah ditampilkan dalam bentu empat orang penari bersama – sama dengan Dr.
Th Pegeaud menjelaskan bahwa bentuk tarian empat pria itu merupakan kepribadian
masyarakat di madura. Dan jawa sebelah timur sepanjang pantai, yang telah hidup
sejak waktu yang lama.
aLasan
pemilihan dan penampilan penari – penari
pria berpakaian wanita dan menggunakan instrumen pertama berupa terbang itu
memberikan suatu asumsi dengan kegiatan bentuk – bentuk kesenian yang
berkembang dan berorientasi kepada unusr – unsur keagamaan islam, yang
kebetulan pada sekitar abad ke XVIII mulai berkembang di daerah blambangan.
Alasan
mengapa dipilihnya penari pria berpakaian wanita, dapat diduga memperbandingkan
evolusi yang terjadi pada bentuk - bentuk kesenian damar wulan, ketoprak,
ludruk, dan kesenian – kesenian lainnya. Lama kelamaan dipilihnya penari wanita
yang sesungguhnya untuk melakukan peranan wanita. Hal itu terdapat di daerah
blambangan dan juga di daerah – daerah lain di indonesia.
Suatu
hal yang merupakan kebiasaanyang tetap hidup sampai sekarang ialah tentant
digunakannya kesenian gandrung untuk keperluan hiburan pada suatu acara pesta
danjuga suatu kebiasaan bagi calon penari partner (pemaju) biasanya selalu
memberikan sekedar uang sebagai tombok kebiasaan itu mungkin dimulai sejak
jaman dahulu, hanya dalam bentuk tomboknya yang mengalami perubahan sesuai
dengan situasinya.
Pada
perkembangan berikut, mungkin juga dipengaruhi oleh perkembangan adat istiadat
penduduk makan pada 1895 diangkatlah penari gandrung wanita yang kebetulan
berasal dari penari seblang riwayatnya sebagai berikut :
“sebagai
peninggalan masa kejayaan blambangan pada jaman hindu ternyata sampai dengan sekitar
tahun 1850 di desa cungking dan sekitarnya masih hidup suatu bentuk masyarakat
yang mutlak menganut agama ciwa, di dalam masyarakat itulah hidup suatu jenis
kesenian yang ada hubungannya dengan unsur – unsur magis religius yang disebut
seblang. Jenis kesenian ini terkenal sejak jaman dahulu dan terdapat di desa
bakungan dan ulih – ulihan (olehsari).
Salah
satu kebiasaan yang hidup pada kesenian seblang itu adalah memberikan sarana
kesembuhan secara magis kepada orang yang sakit atas permintaan keluarganya. Biasanya
kalau salah satu anggota keluarga mengalami sakit, maka tersembullah suatu
ucapan yang merupakan nadhar, bahwa kalau si sakit sembuh maka akan diundang
kesenian seblang untuk mengadakan pementasan di tempatnya yang menurut istilah
using “ditanggapaken seblang”.
Jadi
kesenian seblang pada saat itu sering dipentaskan untuk memenuhi kebutuhan
acara nadhar dan untukmemberi pertolongan secara magis sesuai dengan
kepercayaan masyarakat pada saat itu serta untuk keperluan upacara yang lain.
Pada
suatu saat putri seorang penduduk dukuh cungking yang bernama semi mengalami
sakit keras dan tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya . kemudian mak midah
(ibunya) menyampaikan ucapan kepada semi yang sedang sakit tersebut sebagai
berikut “ kadhung sira mari, sun
dadekaken seblang kadung sira sing mari yo osing”.
Terjemahannya
sebagai berikut “ kalau engkau sembuh, akan kujadikan seblang tetapi jika tidak
sembuh ya tidak” . kebetulah setelah itu semi sembuh dari sakitnya dan untuk
memenuhi ucapan mak midah maka kemudian semi dijadikan penari seblang.
Dalam
penampilan – penampilan semi sebagai penari seblang, biasanya dilakukan dengan
jalan semi menari dan mak Midah ikut mengiringiinya dengan menyayikan lagu –
lagi atau gending - gending. Ternyata kemudia
banyak orang yang mengaguminya dan selanjutnya setiap malam diusahakan oleh
orang-orangs ekitarnya untuk diadakan pementasan kesenian seblang tersebut.
Dengan
sendirinya makin lama semi makin pandai karena terbiasa mebawakan tariannya
sehingga tergeraklah hati mak Midah untuk menciptakan gending – gending atau
lagu – lagu guna memenuhi kebutuhan semi sebagai penari seblang tersebut
kemudian timbullah gagasan dari orang – orang sekitarnya untuk menjadikan semi
sebagai penari gandrung dan untuk itu berusahalah mereka mengumpulkan unag
untuk membeli perlatannya guna memenuhi kebutuhan tersebut dan kemudian sejak
inilah semi mulai tampil sebagai gandrung dan sejak itu pula jumlah adanya penari
gandrung pria berangsur angsur kurang dan kemudian tidak adas sama sekali.
Literatur
Oleh : Dariharto
siang mb Christina Putri Yulinda
BalasHapussaya antok, saya ijin pakai foto di blog mb boleh tidak?